twitter



1. Pendahuluan
Badai krisis yang menghantam perekonomian Indonesia, selain menyisakan penderitaan yang tak berkesudahan bagi masyarakat, ternyata merupakan tonggak awal perkembangan sistem ekonomi alternatif ala Islam yang dikenal luas oleh masyarakat sebagai ekonomi syariah. Alih-alih mengalami keterpurukan bahkan hingga tak sedikit yang gulung tikar pada beberapa lembaga keuangan, khususnya perbankan yang menerapkan prinsip konvensional riba, perbankan Islam yang usianya masih sangat belia justru memiliki daya tahan (resistensi) yang sangat bagus dalam menghadapi situasi tersebut. Sejarah perekonomian bangsa mencatat bahwa Bank Muamalat, sebagai simbol ekonomi syariah kala itu berdiri kokoh di antara runtuhnya bangunan ekonomi ribawi.
Tak hanya itu, sistem ekonomi Islam makin bersinar ketika beberapa lembaga Islam mengumpulkan dana zakat, infak dan sedekah dari masyarakat berpunya yang bersimpati untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dana-dana ini dikelola dan disalurkan oleh tenaga-tenaga muda yang amanah dan professional untuk bantuan kemanusiaan pada korban bencana alam dan kelaparan seperti pendidikan, kesehatan serta bantuan yang sifatnya caritas. Sejak saat itulah, beberapa lembaga yang menamakan dirinya sebagai lembaga zakat mulai bermunculan bak cendawan di musim hujan dan bekerja sebagai pengelola zakat (amil) tak lagi dipandang sebelah mata. Puncaknya, pemerintah kemudian mengakui keberadaan mereka (lembaga pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat) melalui seperangkat peraturan yang terkodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat setelah mendapat desakan masyarakat. Setelah melalui perjalanan dan perjuangan yang panjang, umat Islam akhirnya mampu memosisikan zakat dari wacana fikih ke wacana hukum nasional, dalam arti zakat masuk dalam tata perundang-undangan negara.
Realita di atas membuat kita sadar, betapa ekonomi Islam (ekonomi syariah) bukan hanya sebagai sistem ekonomi alternatif tetapi lebih bersifat solutif bagi berbagai permasalahan perekonomian. Kaitannya dengan zakat, implementasi zakat bukan hanya murni masyarakat tetapi mendapat perhatian serius dari pemerintah akan berimbas pada percepatan upaya pengentasan kemiskinan yang senantiasa menjadi program rutin dari tahun ke tahun.
1. Posisi Zakat dalam Ekonomi Islam
Secara bahasa (literal), zakat berasal dari bahasa arab yang memiliki arti “tumbuh dan berkembang”. Sedangkan menurut ahli yurisprudensi Islam, zakat didefinisikan sebagai bentuk pengeluaran yang dilakukan oleh kaum berpunya (the have)—yang di dalam istilah Islam disebut sebagai muzakki, yakni golongan orang yang telah melampaui batas pemilikan harta tertentu (nisab)—yang ditujukan kepada kaum tak berpunya (the haven’t), yang disebutkan di dalam Al-Quran berjumlah delapan golongan (QS. At-Taubah [9]:60).
Dilihat dari kacamata ekonomi, sepintas zakat merupakan pengeluaran (konsumsi) bagi pemilik harta sehingga kemampuan ekonomis yang dimilikinya berkurang. Namun logika tersebut dibantah oleh Allah swt., melalui kitab suci Al-Quran yang menyatakan bahwa segala macam bentuk pengeluaran yang ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah, akan digantikan dengan pahala (harta sejenis maupun kebaikan yang lain) yang berlipat (QS. Al-Baqarah [2]:251 dan QS. Ar-Ruum [30]:39).
Kaitannya dalam ekonomi Islam, zakat merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam sebagai salah satu sumber pendapatan tetap institusi ekonomi Islam (baitul maal). Dalam literatur sejarah peradaban Islam, zakat bersama berbagai instrumen ekonomi yang lain seperti wakaf, infak/sedekah, kharaj, ushur dan sebaginya senantiasa secara rutin mengisi kas Negara untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Kedudukan zakat yakni menjamin tercukupinya kebutuhan minimal kaum lemah (mustadh’afiin) sehingga tetap mampu mengakses perekonomian. Melalui akses ekonomi tersebut, zakat secara langsung telah menjamin keberlangsungan pasar. Dengan sendirinya, produksi bahan-bahan kebutuhan tetap berjalan dan terus membukukan keuntungan. Dan perlu dicatat bahwa produsen tersebut pada umumnya adalah mereka yang memiliki status sebagai muzaki.
Dari mekanisme ekonomi seperti di atas-lah, maka kemudian secara filosofis zakat diartikan sebagai berkembang. Belum lagi, zakat juga memiliki potensi yang besar untuk merangsang mustahik untuk keluar dari keterpurukan menuju kemandirian. Dengan kata lain, zakat, jika dikelola dengan baik dan professional oleh lembaga-lembaga (amil) yang amanah, memiliki potensi mengubah mustahik menjadi muzakai atau bermental muzaki atau minimal tidak menjadi mustahik lagi. Dalam konteks Indoensia, implementasi zakat dalam perekonomian sangat relevan terutama jika dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan (yang juga merupakan golongan yang berhak menerima zakat) yang terus-menerus diupayakan oleh pemerintah.
Dilihat dari aspek ibadah, zakat memiliki posisi yang sangat vital karena merupakan salah satu dari rukun Islam. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya akan menanggung beban dosa. Dari penjelasan yang terdapat dalam sumber-sumber hukum agama Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits mengisyaratkan secara tegas bahwa orang-orang yang menahan hartanya dari membayar zakat akan mendapat balasan yang berat. Sejarah mencatat, pada masa khalifah Abu Bakar as-Shidiq ra., orang-orang yang tidak membayar zakat dihukum berat dengan cara diperangi.
1. Kemiskinan: Teori, Penyebab dan Realitasnya
3.1. Sejarah Kemiskinan
Kemiskinan lahir bersamaan dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Sejarah mencatat bahwa kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Di dalam Hukum Zakat, Dr. Yusuf Qardawi mencatat pernyataan seorang ilmuwan besar yang melaporkan tentang sejarah kelam hubungan antara orang-orang miskin yang telah berlangsung semenjak kebudayaan-kebudayaan pertama manusia. Katanya:”Pada bangsa apa pun peneliti mengarahkan perhatiannya, ia selalu hanya akan menemukan dua golongan manusia yang tidak ada ketiganya, yaitu golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Di balik itu selalu didapatkan keadaan yang menarik, yaitu golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas, sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kurus sehingga hanpir-hampir tercampak di atas tanah, terhempas tak berdaya. Terancamlah bangunan masyarakat oleh karena fondasinya goyah, sedanngkan orang yang hidup bermewah-mewah itu sudah tidak sadar mulai dari mana atap di atasnya runtuh.”
Kondisi kemiskinan tersebut dapat dijumpai pada Mesir kuno, surga di atas bumi. Pada masa Dinasti XII, orang miskin menjual diri mereka kepada orang kaya. Juga di Babilonia, orang-orang miskin tidak pernah merasakan hasil-hasil negeri mereka. Pada zaman Yunani, orang-orang miskin digiring dengan cambuk ke tempat terkutuk, dan jika salah sedikit mereka disembelih seperti domba. Di Roma, orang-orang berpunya berkuasa penuh atas rakyat biasa. Dan setelah kerajaan Rumawi hancur digantikan oleh kerajaan Eropa, nasib orang miskin semakin buruk saja. Di manapun, mereka bersama tanah milik mereka dijual laksana binatang. Baru kemudian Islam datang, kondisi mereka (orang miskin) jauh berbeda dari apa yang bisa kita bayangkan.
3.2. Teori dan Penyebab Kemiskinan
Menurut Goenawan Sumodiningrat, kesenjangan dan kemiskinan dilihat dari segi penyebabnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian: pertama, kesenjangan dan kemiskinan natural yaitu kesenjangan dan kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor alamiah, seperti perbedaan usia, perbedaan tingkat kesehatan, perbedaan georgrafis tempat tinggal dan lain-lain. Kedua, kesenjangan dan kemiskinan cultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan adat budaya seperti etika kerja, pola hidup dan sebagainya. Ketiga, kesenjangan dan kemiskinan structural yang disebabkan oleh factor-faktor buatan manusia, misalnya kebijakan pemerintah pada perekonomian yang bersifat diskriminatif, kolutif dan koruptif, distribusi pendapatan yang tidak merata hingga tatanan ekonomi dunia yang timpang dan lain-lain.
Namun, ada juga ahli ekonomi yang mengemukakan bahwa penyebab kemiskinan hanya ada dua macam. Pertama, kemiskinan akibat struktur yang oleh Alfian disebut sebagai kemiskinan structural yang didefinisikan sebagai “kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur social masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia bagi mereka.” Contohya adalah kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat, di mana daerah tersebut sebetulnya merupakan lumbung pangan dan senantiasa mengalami surplus pangan. Secara ironis dan apik, Andrea Hirata juga berhasil menggambarkannya melalui tetralogi Laskar Pelanginya yang menggambarkan kondisi masyarakat Pulau Belitong yang menderita kemiskinan di tengah-tengah kekayaan timah yang melimpah di tanah tersebut. Dalam kedua kasus tersebut, penduduk local tidak memiliki akses untuk mengelola kekayaan alam sendiri. Mereka bekerja sebagai buruh (petani dan penambang timah), sedangkan modal dan sumber daya dikuasai oleh tuan tanah dan pemilik modal.
Kedua, kemiskianan cultural. Kemiskinan ini diakibatkan oleh nilai-nilai budaya yang dianut olah masyarakat yang ikut berperan dalam membentuk serta melanggengkan kemiskinan. Budaya ini, oleh Carl Lewis diteorisasikan dengan “budaya kemiskinan” (Cultur of Poverty). Sifat malas, tidak rajin dan tekun, serta bersikap pasrah dengan keadaan merupakan contoh perilaku (behaviour) yang tidak hanya menyebabkan kemiskinan tetapi juga memeliharanya.
Selanjutnya, kemiskinan ini akan menyebabkan seseorang melekat pada dirinya lima “ketidakberuntungan”, bagi kehidupannya sendiri, keluarganya serta komunitas miskin tersebut. Lima “ketidakberuntungan” tersebut adalah: kemiskinan (poverty), fisik yang lemah (physical weakness), kerentaan (vulnerability), keterisolasian (isolation), dan ketidakberdayaan (powerlessness). Di sisi lain, kemiskinan juga menimbulkan masalah dalam skala besar kenegaraan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin, beban pemerintah menjadi semakin bertambah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkomitmen bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”, yang hingga enam puluh tahun lebih merdeka dari penjajah, belum bisa merealisasikannya.
3.3. Realitas Kemiskinan Indonesia
Jumlah penduduk miskin selama periode 1976-1993 turun secara drastic. Pada tahun 1976 dari sekitar 54,2 juta jiwa (40,1 persen) menjadi sekitar 40,6 juta jiwa (26,9 persen) pada tahun 1981. Pada tahun 1990 jumlah tersebut turun lagi menjadi sekitar 25,9 juta jiwa (15,1 persen) dan menjadi sekitar 25,9 juta jiwa (13,7 persen) pada tahun 1996. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah orang miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,2 persen dari total penduduk (17,6 juta jiwa atau 21,9 persen di wilayah perkotaan dan 31,9 juta jiwa atau 25,7 persen di wilayah pedesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1981 dan tahun 1984.
Jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 turun hingga sekitar 37,8 juta jiwa (18,4 persen), dengan jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan sebesar 8,6 juta jiwa (9,8 persen) dan di wilayah pedesaan sekitar 29,3 juta jiwa (24,8 persen). Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37,3 juta jiwa (17,4 persen) dan pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin kembali menurun hingga menjadi sekitar 36,1 juta jiwa (16,6 persen). Data kemiskinan berdasarkan survey nasional social ekonomi nasional (Susenas) BPS yang dilakukan Maret 2006 mencatat jumlah penduduk miskin 3,95 juta jiwa dibandingkan Februari 2005. Jumlah absolute penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia.
Sedangkan, pada tahun 2007, Indonesia berhasil menurunkan jumlah orang miskin dari 17,8 persen total populasi pada 2006 menjadi 16,6 persen. Keberhasilan ini tak lepas dari upaya pemerintah menekan inflasi dan pengaruh program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bank Dunia juga memprediksikan bahwa pada 2008 jumlah penduduk Indonesia berpendapatan US$ 2 atau Rp. 19.000,- perhari akan berkurang 4,6 juta orang dari total penduduk miskin yang berjumlah 105,3 juta orang. Penurunan juga terjadi pada penduduk “sangat miskin” (yaitu mereka yang berpendapatan US$ 1 perhari) menjadi 5,9 juta orang dari sebelumnya 6,7 juta. Saat ini jumlah total penduduk Indonesia adalah 236,4 juta jiwa.
Meski secara kuantitas, data-data statistic menunjukkan tingkat kemiskinan yang fluktuatif, secara umum kemiskinan senantiasa menjadi permasalahan yang memiliki kualitas semakin hari semakin akut. Kemiskinan berevolusi menimbulkan permasalahan baru menjalar di berbagai bidang. Di bidang kesehatan, kemiskinan bertanggungjawab pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh dengan standar di bawah ketentuan minimal hidup sehat dan sejahtera. Di bidang stabilitas nasional, kemiskinan merupakan biang dari berbagai tindak kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
1. Kemiskinan dalam Perspektif Islam
Sejak kelahirannya, agama Islam adalah musuh utama kemiskinan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pernyataan-pernyataan di dalam al-Qur’an maupun hadits yang menganjurkan kepada umat Islam untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Dikatakan di dalam al-Qur’an: “Apakah engkau tahu siapakah pendusta agama? Mereka adalah yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap fakir miskin.”
RasuluLlah juga kemudian mengatakan bahwa tidak beriman seseorang, di mana ia tidur dengan kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan yang semakin menegaskan bahwa Islam tidak diturunkan kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, salah satunya dengan memerangi kemiskinan. Sedangkan Imam Ali ra., menyebut kematian seagai kematian atau musibah terbesar.
Bagi orang-orang yang tidak mau peduli dengan kemiskinan, Allah swt. mengeluarkan perintah tegas untuk menghukum mereka:
“Tankap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan (seperti) itu? Oleh karena mereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin.”
Bahkan, masih banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan bahwa Islam diturunkan untuk melenyapkan kemiskinan di atas muka bumi, sebagaimana pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab dan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diturunkannya al-Qur’an dimuka bumi adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemiskinan menuju kemerdekaan dan kemandirian secara ekonomis.
Oleh karenanya, Islam memiliki konsep yang kongkrit yakni zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan membangun kemandirian umat. Konsep zakat juga merupakan konap berbagi dengan sesama (kedermawanan sosial), terutama dengan kaum fakir miskin yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lemah (mustadh’afiin). Indikasi ini wajar dilihat dari alasan teologis kenapa zakat itu ada: pertama, segala kekayaan alam di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS.3:180). Kedua, manusia berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini zakat dimaksudkan untuk meniadakan adanya penumpukan harta secara berlebiha pada individu maupun kelompok tertentu sementara yang lainnya hidup dalam kemiskinan yang akut.
1. Formula Pengentasan Kemiskinan ala Islam
DR. Yusuf Qardhawi mengungkapkan, sedikitnya ada 5 usaha yang dapat dilakukan umat Islam dalam mengatasi kemiskinan. Kelima upaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan etos kerja individu dan masyarakat. Sebelum adanya perintah bagi orang kaya untuk menginfakkan hartanya dalam rangka membantu meringankan beban fakir miskin orang-orang yang lemah, melalui zakat, infak, sedekah, wakaf dan sebagainya, telah terlebih dahulu dianjurakan kepada individu-individu muslim untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Aktifitas bekerja dinilai sebagai ibadah yang mendatangkan pahala dan menghapus dosa. Optimisme bekerja ditanamkan dengan ungkapan: “Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau akan mati besok.”
2. Membantu keluarga yang lemah baik di bidang ekonomi maupun lainnya. Bantuan sekecil apa pun bagi orang yang sangat membutuhkan uluran tangan, akan sangat bermakna bagi orang tersebut.
3. Membayar zakat bagi yang telah mencapai batas kepemilikan harta tertentu (nisab). Zakat yang dibayarkan oleh orang-orang kaya kepada orang yang membutuhkan, tidak hanya menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi orang yang menerima. Lebih dari itu, zakat juga mendatangkan kebaikan bagi yang menunaikannya terkait dengan fungsi zakat yang mensucikan harta, dan berpotensi untuk mendapatkan pahala yang berlipat.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
1. Dana bantuan perbendaharaan Islam. Dana tersebut berupa dana yang merupakan sumber-sumber pendapatan bagi institusi baitul maal seperti zakat, infak, wakaf, jizyah, ushur dan sebaginya.
2. Keharusan menunaikan kewajiban selain zakat. Kewajiban lain di luar zakat tersebut yaitu kewajiban dalam kaitannya dengan materi atau harta kekayaan. Kewjiban tersbut misalnya adalah kewajiban memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungan.
1. Fungsi Zakat dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan
6.1. Konsep Pemberdayaan
Menurut Dr. Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, pemberdayaan dalam kaitannya dengan penyampaian kepemilikan harta zakat kepada mereka yang berhak terbagi dalam empat bagian, yaitu sebagai berikut:
1. pemberdayaan sebagian dari kelompok yang berhak akan harta zakat, misalnya fakir miskin, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada mereka sehingga dapat mencukupi dan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, dengan memberikan modal kepada mereka yang memiliki keahlian tetapi menghadapi kendala berupa keterbatasan modal. Baik fakir msikin maupun mereka yang memiliki keahlian, kepada mereka diberikan harta zakat untuk memberdayakan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tentang hal ini, Imam Nawawy mengatakan di dalam bukunya al-Majmû’ dari perkataan jumhur mazhab Syafi’i: Mereka mengatakan bahwa sesuai dengan kebiasaan, orang yang mempunyai profesi tertentu diberikan sesuatu dari harta zakat, dengan maksud agar mereka menggunkannya untuk membeli alat-alat yang mendukung profesionalismenya, baik sedikit maupun banyak. Dengan demikian, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pemberian ini berbeda-beda sesuai dengan profesi, serta kebutuhan masing-masing individu.
2. Memberdayakan kaum fakir, yakni dengan memberikan sejumlah harta untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memberdayakan mereka yang tidak memiliki keahlian apapun. Terkait hal tersebut, almarhum Syaikh Syams al-Dîn al-Ramly mengatakan:
Jika para fakir miskin belum mendapatkan pekerjaan sebagai penunjang hidup mereka, baik dengan profesi maupun berdagang, mereka diberikan bagian dari zakat secukupnya sesuai kebutuhan hidup di negara mereka tinggal dan selama mereka hidup. Karena maksud dari pemberian tersebut hanyalah untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Jika umur mereka berlanjut, zakat diberikan tahun demi tahun. Akan tetapi tidak bukan berarti memberikan mereka seperti gaji dari hasil kerja, melainkan memberikan mereka sejumlah uang yang dapat digunakan untuk membeli rumah, yang kemudian mereka gunakan sebagai temapt bekerja, yang akhirnya dapat terlepas dari ketergantungan terhadap zakat.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, senada dengan pendapat jumhur Syafi’i, menyatakan bahwa fakir miskin boleh mengambil sesuai kebutuhan dari harta zakat secara terus menerus, baik untuk perdagangan maupun alat-alat yang mendukung profesi mereka. Di dalam kitab lain disebutkan bahwa mereka yang memiliki profesi diberikan sejumlah harta dari zakat sesuai kebutuhan untuk membeli alat-alat pendukung profesi tersebut. Mereka yang berdagang diberikan modal usaha. Sedangkan yang selain dua tersebut di atas, adalah fakir miskin. Kepada mereka diberikan sejumlah harta untuk menutupi kebutuhan hidup yang belum terpenuhi.
1. Pemebrdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat, yang memiliki penghasilan baru dengan ketidakmampuan mereka. Mereka itu adalah pegawai zakat dan para muallaf.
2. Pemberdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat untuk mewujudkan arti dan maksud zakat sebenarnya selain yang telah disebutkan di atas. Di antaranya adalah hamba sahaya, mereka yang di jalan Allah swt., ibnu sabil, dan memilik banyak utang. Kepada mereka diberikan harta zakat dengan pengawasan dan harus sesuai dengan tujuan diberikannya zakat. Jika mereka menggunakannya kepada selainj tujuan tersebut kemudian mendapat keuntungan, maka semua harta zakat dan keuntungan tersebut wajib dikembalikan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpualan bahwa zakat merupakan jaminan dan asuransi, sebagaimana berikut:
1) Asuransi yang wajib atas harta, karena perkembangan dan utnuk membersihkannya serta mendapatkan berkah di dalamnya.
2) Jaminan untuk kelompok penerima zakat sehingga kebutuhan hidup mereka terpenuhi.
6.2. Pengaruh Zakat pada Tingkat Permintaan
Jika zakat telah didistribusikan dari mereka yang memiliki penghasilan tinggi (muzaki) kepada mereka yang memiliki penghasilan terbatas, kecenderungan konsumsi dari muzaki menjadi lebih sedikit dari tingkat konsumsi mustahik. Dalam arti bahwa tingkat kesenjangan konsumsi antara si miskin dan si kaya menjadi mengecil. Dengan demikian tingkat konsumsi menjadi semakin besar ketika zakat telah dilaksanakan dibandingkan dengan sebelumnya.

6.3. Pemberdayaan ala Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia
Secara spesifik, karakteristik pemberdayaan mustahik melalui dana zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di Indonesia sedikit berbeda dengan konsep pemberdayaan sebagaimana di atas. Perbedaan tersebut terjadi karena secara historis, lembaga pengelola zakat didominasi oleh organisasi pengelola zakat yang lahir dari kalangan grass root (masyarakat) yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ sendiri dibidani oleh individu-individu yang mengcopy sistem Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun hampir seluruh LAZ dan BAZ (Badan Amil Zakat) yang ada pada umumnya memiliki Dewan Pengawas Syariah, prinsip-prinsip pengelolaan zakat masih kentara dipengaruhi suasana LSM.
Di antara prinsip-prinsip yang diterapkan pada LSM adalah manajemen LSM yang masih bersifat umum (baca: konvensional). Hal ini menyebabkan LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan umat seperti LAZ masih dipengaruhi keumuman manajemen LSM tersebut.
Satu di antara kecenderungan LAZ menganut prinsip-prinsip LSM adalah dikenalnya istilah filantropi Islam untuk menyebut organisasi pengelola zakat. Padahal, istilah filantropi sangat berbeda dengan bentuk-bentuk kedermawanan dalam Islam terutama zakat. Mengadopsi istilah filantropi secara mentah-mantah untuk menyebut LAZ berarti menurunkan derajat zakat dari yang pada mulanya merupakan keharusan (wajib) menjadi sesuatu yang sifatnya sukarela (sunah).
Kaitannya dengan pemberdayaan, penyebutan lembaga filantropi Islam untuk institusi Islam yang mengelola zakat, infak dan sedekah (yang telah dikenal sejak zaman RasuluLlah dengan istilah baitul maal) mengakibatkan pola pikir yang keliru dari para amil dalam memberdayakan zakat. Pertama, volume penyaluran dana zakat yang bersifat konsumtif selalu lebih sedikit dibandingkan dengan penyaluran yang sifatnya konsumtif pada hampir seluruh lembaga zakat. Padahal, kualitas mustahik di Indonesia masih banyak yang berada pada tingkatan untuk diberikan bantuan yang sifatnya konsumtif (caritas). Pemberian modal usaha dari lembaga zakat kepada mustahik akan menjadi sia-sia jika tidak melakukan survei terlebih dahulu terhadap mustahik tersebut. Dengan dana yang terbatas, yang oleh lembaga zakat dimaksudkan sebagai modal usaha untuk mengangkat derajat mustahik justru akan membebani mustahik itu sendiri jika kebutuhan pokoknya masih jauh dari cukup.
Kedua, semakin besar volume penyaluran produktif pada lembaga zakat, padahal penyaluran yang bersifat konsumtif lebih mendesak, semakin sedikit pula jumlah mustahik yang tersantuni. Padahal, aliran dana masyarakat sebagai modal usaha seharusnya menjadi tugas lembaga keuangan syariah seperti BPRS, BMT dan Bank Syariah. Dengan demikian, lembaga zakat telah mengambil alih peran lembaga keuangan syariah dan secara langsung kontraproduktif dengan upaya syiar ekonomi Islam secara keseluruhan.
1. Kesimpulan
Tak bisa dipungkiri bahwa peran ‘sejumlah kecil’ zakat begitu ‘besar’ artinya bagi fakir miskin. Melalui zakat, fakir miskin dan mustahik yang lain dijamin kelangsungan hidupnya sebagai bagian dari masyarakat. Namun dalam implementasinya, zakat tidak bisa berjalan sendirian dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan umat terutama di bidang perekonomian. Untuk bisa optimal, pelaksanaan zakat harus sesuai dengan posisinya dalam perspektif ekonomi Islam.
Sebagaimana telah disinggung di awal, porsi zakat hanya merupakan salah satu dari berbagai instrument ekonomi Islam yang terakomodasi melalui bangunan besar institusi ekonomi Islam, yakni Baitul Maal. Masing-masing instrument tersebut memiliki cirri khas yang membedakannya dari yang lain. Zakat misalnya, merupakan instrument yang memiliki karakter yang spesifik dibandingkan dengan instrument lain sebagai berikut.
Pertama, zakat sebagai sumber pendapatan baitul maal yang berasal dari swadaya masyarakat yang sifatnya wajib. Untuk bisa menjadi donator zakat, pemilik harta harus melampaui batas minimal kepemilikan akan harta tersebut (nisab).
Kedua, peruntukkan zakat telah ditetapkan secara spesifik dan tegas di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, zakat tidak memiliki karakteristik fleksibel sebagaimana instrument ekonomi Islam seperti infak, sedekah dan wakaf. Dalam bahasa ilmu fikih, zakat memiliki ruang lingkup ijtihad yang sangat terbatas.
Berdasarkan kedua karakteristik di atas, penulis beranggapan bahwa zakat tidak selayaknya dipakaskan sebagai modal usaha dalam rangka program yang sifatnya produktif. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mustahik zakat di Indonesia pada umunya belum bisa memenuhi kebutuhan dasar yang menjamin kelangsungan hidupnya. Dengan memberikan harta zakat yang sangat terbatas (bahkan untuk kebutuhan dasar pun belum cukup) sebagai modal usaha, apalagi yang sifatnya dana bergulir, akan menambah beban yang harus dihadapi oleh para mustahik. Di samping kesulitan mencukupi kebutuhan hidup, mustahik juga akan merasa terbebani pada kenyataan bahwa dia harus mengembalikan sesuatu yang seharusnya menjadi haknya.
Namun dalam hal ini, bukan berarti penulis menganjurkan kepada lembaga amil zakat untuk membagi-bagikan harta zakat seperti acara reality show pada stasiun televisi swasta. Penyaluran dana zakat haruslah disertai dengan pembinaan kepada mustahik yang memiliki potensi untuk keluar dari kemustahikannya seperti pemberian pelatihan ketrampilan, maupun motivasi untuk lebih giat bekerja dan keutamaan menjadi orang yang kaya.
Dalam skala kenegaraan, zakat memiliki potensi yang besar untuk membantu upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut melihat bahwa zakat memiliki potensi yang besar dalam hal jumlah mengingat mayoritas penduduk Indoneisa adalah umat Islam. Namun perlu dicatat bahwa zakat secara sendiri sangat sulit untuk mengatasi permasalahan tersebut. Zakat harus dikombinasikan secara simultan dengan instrumen ekonomi Islam yang lain seperti infak, sedekah dan wakaf. Tidak bermaksud meremehkan, peran zakat hanya sebatas mencukupi kebutuhan perut mustahik saja. Sedangkan untuk kebutuhan modal usaha bisa menggunakan harta zakat jika masih ada. Jika tidak, masih banyak alternatif lain pembiayaan atau pemberian modal melalui peran BMT, BPRS maupun Bank Syariah untuk memberikan modal melalui prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti mudharabah, musyarakah, maupun pinjaman yang sifatnya qardhul hasan. Wallahu a’lam bis shawwab.&





entah kenapa
hati ini merasa kehilangan
akan sesosok kepribadian
yang begitu lembut

yang menemani dalam kesendirian
yang menghangatkan dikala hati membeku
hari-hari dalam kebersamaan
mungkinkah hanya tinggal kenangan belaka

canda tawa bersamamu
kini hanya penantian
tutur sapa dengan dirimu
kini hanyalah impian semata

jauh tatapan untuk bertemu
jauh kata untuk menyapa
walau jarak membentang menghalangi
namun hati menanti hadirnya dirimu



Sahabat,
Hari ini tanggal 23 Januari yang Bahagia bagimu,
Aku berharap dapat membawakan semua kemegahan bunga di bulan Januari untukmu,
Aku berharap dapat mengirimkan sebuah kejutan kebahagiaan untukmu,
Dengan berjuta corak warna
Dengan aneka keharuman bunga di bulan Januari,
Di bulan Januari yang indah ini,

Aku berharap,
Aku dapat menulis sebuah puisi untukmu,

Aku berharap,
Aku bisa melukismu, sebagai seorang Sahabat!
Namun aku tidak akan pernah mampu memberimu,
Karena aku tidak dapat mengekspresikan
perasaan ini,
Di dalam kehadiranmu,
Kau telah membawakan aku kegembiraan,
Kau membawakan aku rasa bahagia yang
tidak pernah berakhir,


Pengantar
Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang senantiasa menuntut keterlibatan pekerjaan sosial dalam penanganannya adalah masalah kemiskinan. Masalah ini menjadi isu sentral terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu, International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.
Selain kelompok di atas, terdapat juga kecenderungan dimana krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal (Suharto, 2002). Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, dan dirampingkannya struktur industri formal telah mendorong orang untuk memasuki sektor informal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern telah menurunkan jumlah pekerja formal dari 35 persen menjadi 30 persen. Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari para penganggur baru tersebut diserap oleh sektor informal dan industri kecil dan rumah-tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan, khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima, peningkatannya bahkan lebih dramatis lagi. Di Jakarta dan Bandung, misalnya, pada periode akhir 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300 persen (Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11 October 1999). Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin dan rentan (Suharto, 2002).
Departemen Sosial yang berdiri sejak Republik ini berdiri tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini, termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial – yang dikenal PROKESOS – yang dilaksanakan baik secara intra-departemen maupun antar-departemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral.
Dalam garis besar, pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2 dan S3).
Teori Neo-liberal dan Sosial Demokrat Mengenai Kemiskinan
Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwayuh wajah, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan.
Terdapat banyak sekali teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun bila disederhanakan, setidaknya dalam konteks diskusi ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural dan individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam menganalisis kemesikinan maupun merumuskan kebijakan dan program-program anti kemiskinan (lihat Tabel 1).
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan prtumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini.
Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels, pendukung sosial demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97).
Teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi Keynesian ini, muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini.
Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998:79).
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa strategi penanganan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat meyakini bahwa penangananan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya (choices).
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Dalam proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip keberfungsian sosial (social functioning) (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Sebagamana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”, psikolog dengan konsepsi “perilaku adekwat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”, dan pengacara dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor (1989:18) menyatakan:
Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set of behaviors, needs, and beliefs that are the result of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions between the person and the parts of that person’s world that the quality of life can be enhanced or damaged. Herein lies the uniqueness of social work.
Dengan demikian, jika keseluruhan konsepsi tersebut dipandang sebagai kontribusi setiap profesi terhadap pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial dalam domain pembangunan nasional, maka dapat dimodelkan sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1 (Suharto, 1997). Gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam domain pembangunan nasional, terlibat banyak profesi pertolongan yang melaksanakan tugas dalam arena pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial. Diantara profesi-profesi tersebut profesi pekerjaan sosial lebih dominan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sedangkan profesi lainnya lebih dominan dalam pembangunan sosial yang merupakan induk atau muara pembangunan kesejahteraan sosial.
Jika gambar tersebut dikontekstualkan dalam program pengentasan kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa sasaran dan garapan profesi pekerjaan sosial lebih terfokus pada konsepsi dan tugas yang disandangnya, yakni konsepsi mengenai keberfungsian sosial dalam fungsi pembangunan kesejahteraan sosial.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan struktural sebagaimana diformulasikan oleh kaum sosial demokrat. Dilihat dari tingkatannya, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir
miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan
(umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan
namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih
memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari
kemesikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok
destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor”
(agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka
seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila
terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan sosial (Depsos) adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas. Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang melekat padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh PMKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute, poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa PMKS bisa berada diantara ketiga kategori kemiskinan di atas.
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan person-in-situation”.
Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi:
1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial.
2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan – yang pada prinsipnya memadukan pendekatan neoliberal dan sosial demokrat ini – dapat dikategorikan kedalam beberapa strategi:
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana
alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-usaha
ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda
mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut
sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat
memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan
yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya,
pemberian kredit, program KUBE atau Kelompok Usaha Bersama.
Penutup: Analogi Ikan dan Kail
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Departemen Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang telah lama aktif dalam program pengentasan kemsikinan. Dalam strateginya Depsos berpijak pada teori dan pendekatan ilmiah, terutama teori sosial demokrat dan pendekatan pekerjaan sosial.
Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu dan kelompok) dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial. Dianalogikan dengan strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individual, yakni dengan:
(a) Memberi ikan; dan
(b) Memberi kail.
Lebih jauh lagi, pekerja sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur sosial yang tidak adil, dengan:
(c) Memberi keterampilan memancing;
(d) Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan; dan
(e) Mengusahakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing.
Referensi
BPS (Badan Pusat Statistik) (1999), Penduduk Miskin (Poor Population), Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin, No. 04/Th.II/9, July, Jakarta: CBS
Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave (1998), Social Policy in Aotearoa New Nealand: A Critical Introduction, Auckland: Oxford University Press.
ILO (International Labour Organisation) (1998), Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis, Jakarta: ILO
Kompas, 23 November
Morales, Armando dan Bradford W. Sheafor (1989) Social Work: A profession of Many Faces, Massachusset: Allyn and Bacon.
Pikiran Rakyat, 11 Oktober
Siporin, Max (1975), Introduction to Social Work Practice, New York: MacMillan.
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice-Hall.
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
——– (2001a), “Potensi Zakat Mal di Era Otda”, Pikiran Rakyat, edisi 24 Februari
——– (2001b), “Menyoal Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, Media Indonesia, edisi 1 Maret
——– (2001c), “Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan”, Republika, edisi 3 Agustus.
——– (2002a), Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan: Mengkaji Peran Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam Orasi Ilmiah pada Upacara Wisuda XXXVI Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun akademik 2001/2002, Bandung: 9 September.
——– (2002b), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Indonesia: A Study of Pedagang Kakilima in Bandung, PhD Thesis, Palmerston North: Massey University
Zastrow, Charles (1982), Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems, Services and Current Issues, Illinois: The Dorsey Press